Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman
budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang
paling tepat untuk mempersatukan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di
bawah suatu tatanan yang inklusif dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai
Pancasila seolah lenyap seiring dengan berlangsungnya reformasi.
Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama
penganut agama adalah tujuan dari kerukunan beragama, agar terciptakan
masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan hingga konflik agama.
A. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang
tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan
penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan
persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis,
Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat
dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat
dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya
sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu
faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar
karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui
bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya,
termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah
mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu
agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan
yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu
menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan
yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak
tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan.
Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai
muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya
mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup
diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai
lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain,
maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai
satu sama lain.
B. Kendala-Kendala
Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu
masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia,
adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana
diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan
tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan
teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan
masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi,
karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu
sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian
membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing
pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan
sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa
pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.
Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi
faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat
beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara
faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja
muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan
memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan
“bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di
negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di
negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi
darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali
menunggangi agama dan memanfaatkannya.
Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara
eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah
tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai
Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan
praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan
bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan
menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan
orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di
sisi Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar